JAKARTA – Peristiwa G30S/PKI begitu membekas pada keluarga Jenderal AH Nasution. Meski menyatakan telah memaafkan, namun kenangan peristiwa di kediaman Nasution tidak mungkin hilang. Karena itu, Putri sulung Nasution, Hendrianti Saharah Nasution, mengungkapkan ketidaksetujuannya bila film pengkhianatan PKI karya Arifin C Noer itu diperbaharui.
|
Museum PKI |
Yanti, panggilan Hendrianti, yang saat itu masih berusia 13 tahun menjadi saksi hidup ketika rumah ayahnya digeruduk pasukan Tjakrabirawa. ’’Waktu itu saya lompat ke tempat Tendean (Pierre Tendean, ajudan AH Nasution),’’ kenangnya usai menghadiri reuni SMPN 216 Jakarta di halaman belakang Museum AH Nasution kemarin (30/9).
Karena melarikan diri itulah, dia selamat dari kejaran pasukan Tjakrabirawa. Apalagi, setelah Tendean dibawa paksa oleh pasukan yang mengira bahwa dia adalah Nasution. Dia mengapresiasi pemutaran kembali film G30S PKI itu di sejumlah tempat dan salah satu televisi swasta. Sebab, bagaimanapun generasi muda harus diberi penjelasan mengenai apa yang terjadi pada masa itu.
Orang-orang dewasa harus memikirkan bagaimana menyampaikan sejarah tersebut kepada anak-anak, sehingga generasi penerus juga bisa mengerti. Berkaitan dengan hal itu pula, Yanti secara pribadi menyatakan ketidaksetujuannya bila Film lawas itu diperbaharui. ’’Saya sudah tahu bagaimana film ini dibuat,’’ lanjutnya.
Menurut dia, film tersebut mampu merekonstruksi situasi yang terjadi saat itu dengan apik. Tentu, bila ada sedikit perbedaan menjadi hal wajar karena sentuhan sutradara untuk warna film. Misalnya, Nasution dikatakan sudah tiga hari berada di Bandung. Pada kenyataannya, Istri Nasution, Johanna Sunarti, menyebut sang suami sudah dua hari di Bandung untuk mengelabui Tjakrabirawa.
’’Kalau ada kontroversi atas film itu, maka yang bisa menjawab adalah orang yang melihat di mana kontroversi itu,’’ tutur Yanti. Yang penting, penonton melihat bahwa kejadian tersebut adalah yang sebenarnya. Dia justru mempertanyakan apa motif dari pembaruan film tersebut.
Sementara itu, Museum Sasmitaloka Jenderal Besar AH Nasution kemarin dipadati pengunjung. Lebih dari 100 pengunjung silih berganti masuk ke kompleks seluas 1.000 meter persegi itu. Mulai dari generasi tua yang membawa serta anak-anaknya, hingga generasi muda yakni pelajar dan mahasiswa.
Empat pemandu yang disediakan cukup kewalahan memberi penjelasan kepada para pengunjung. Salah satunya, Serma R Suryanto. Dia mengajak pengunjung mengamati satu persatu bagian rumah Nasution. Khususnya, ruang tidur yang menjadi lokasi penembakan putri kedua Nasution, Ade Irma Nasution.
Saat pasukan Tjakrabirawa menyerbu, sang istri menyuruh Nasution kabur melompati tembok yang membatasi rumahnya dengan Kedutaan Besar Irak. Gara-gara melompati tembok setinggi tiga meter, kaki Nasution patah. ’’Beliau lalu sembunyi di drum yang ada di situ, lalu pingsan,’’ terangnya kepada pengunjung. Sementara, Joanna membohongi prajurit Tjakrabirawa dengan menyebut bahwa Nasution sudah dua hari berada di Bandung.
Di saat hampir bersamaan, Pierre Tendean keluar dan menyatakan bahwa dia adalah ajudan Jenderal AH Nasution. ’’Tapi yang didengar oleh Tjakrabirawa, Saya Jenderal AH Nasution. Apalagi wajahnya mirip,’’ lanjutnya. Alhasil, Tendean pun diculik dan berakhirlah penyerbuan di rumah tersebut. Nasution selamat dan dibawa ke Makostrad, namun tidak demikian dengan putrinya.
Yanti menuturkan, hubungan antara keluarganya dengan keluarga eks PKI tidak ada masalah. ’’Orang tua saya itu memaafkan,’’ tambahnya. Sang bunda merupakan pegiat sosial yang aktif dan banyak membantu warga, termasuk eks PKI. Keluarganya memang berseberangan dengan ideologi komunis. Namun, hubungan kemanusiaan tetap baik-baik saja.
[ads-post]
Deanna Nurazizah, salah seorang pengunjung, menuturkan bahwa dia datang karena ingin bertemu dengan Yanti, meski akhirnya tidak bisa bertemu. Dia mengaku antusias dan terharu mendengar penjelasan dari pemandu. ’’Bagaimana pejuang kita melawan PKI waktu itu, keren lah,’’ tutur mahasiswi Universitas Negeri Jakarta itu.
Sebelumnya, dia hanya mendengar sejarah peristiwa 1965 dari orang tua dan guru-gurunya saat masih sekolah. Namun, penjelasannya tidak pernah utuh. ’’Runtutannya itu dari mana dulu (peristiwa 1965), saya masih bingung. Tiba-tiba diceritakan PKI itu seperti ini,’’ lanjutnya.
Hal senada juga disampaikan Ayu Kumala Dewi, mahasiswi UNJ lain yang datang bersama Deanna. Dia tidak mendapatkan gambaran utuh bagaimana mulanya hingga peristiwa 30 September 1965 bisa terjadi. ’’Dan mengapa tujuh jenderal itu yang diincar,’’ tuturnya.
Pengunjung lainnya, Faradila Sakina, menuturkan bahwa dia datang ke museum itu karena penasaran setelah menonton Film G30S PKI. Selain itu, momennya juga pas, yakni pada 30 September. ’’Kata guru saya, kita harus benar-benar memahami sejarah, karena sejarah sering diputarbalikkan faktanya,’’ ujar siswi SMKN 16 Jakarta itu. Dia datang bersama tujuh rekannya.
Dia paling terkesan dengan kejadian di kamar saat Ade Irma Nasution terbunuh. Juga kejadian di ruang makan saat Joanna membohongi Tjakrabirawa soal keberadaan suaminya, dan menyebut kehadiran Tjakrabirawa hanya untuk membunuh mereka.
Sementara itu, pagi ini upacara Hari Kesaktian Pancasila akan digelar di Monumen Pancasila Sakti di Kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Bila tidak ada perubahan, Presiden Joko Widodo akan menjadi inspektur dalam upacara yang dijadwalkan berlangsung pukul 08.00 itu.